
Penetrasi Internet di Indonesia dan Ancaman yang Mengintai Anak-Anak
Di tengah tingginya penetrasi internet di Indonesia, anak-anak kini menghadapi berbagai ancaman nyata dari dunia digital. Meskipun akses internet memudahkan penggalian ilmu pengetahuan, hal ini juga membuka kotak pandora dengan risiko paparan konten negatif seperti kekerasan, radikalisme, hingga pornografi.
Berdasarkan laporan dari National Center For Missing and Exploited Children (NCMEC) Tahun 2024, terdapat sebanyak 5.566.015 kasus konten pornografi anak di Indonesia selama periode 2021-2024. Ini menunjukkan betapa seriusnya masalah ini.
Kasus ledakan bom di SMA 72 Jakarta beberapa waktu lalu juga menjadi peringatan bahwa "dark web" mudah diakses oleh anak-anak. Situs tersebut sering digunakan oleh pelaku kejahatan untuk melakukan aktivitas ilegal.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa 89 persen anak berusia 5 tahun ke atas sudah menggunakan internet. Mayoritas dari mereka mengakses media sosial, yang membuat mereka rentan terhadap risiko paparan konten negatif. Ini menjadi alarm bagi orang tua untuk lebih waspada.
Pemerintah telah mencoba melindungi anak-anak dari konten berbahaya melalui Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2025 tentang Tata Kelola Penyelenggaraan Sistem Elektronik dalam Pelindungan Anak (PP TUNAS). Menteri Komunikasi dan Digital (Menkomdigi) Meutya Hafid menyatakan bahwa regulasi ini membuat Indonesia menjadi negara kedua di dunia setelah Australia yang menerapkan regulasi penundaan akses anak terhadap platform digital.
Namun, di lapangan, regulasi ini masih jauh dari ideal. Direktur Eksekutif Southeast Asia Freedom of Expression Network (Safenet), Nenden Sekar Arum, menilai sistem moderasi konten di Indonesia masih kurang memadai. Filter konten di media sosial hanya terbatas pada fitur "tidak tertarik" atau akun khusus anak seperti YouTube Kids.
Enam bulan pasca penerapan aturan ini, masih banyak kekosongan dalam melindungi anak-anak dari aktivitas berbahaya di ruang digital, seperti asesmen pengaturan dan pusat laporan kekerasan. Di sisi lain, pemerintah justru terkesan terlalu dalam mengatur privasi seseorang dengan membuat aturan yang "Mewajibkan notifikasi pelacakan di akun anak."
Algoritma dan Echo Chamber: Mesin Penjerat
Algoritma dan echo chamber di media sosial bisa menjadi mesin penjerat bagi anak-anak. Ketika anak mengakses konten kekerasan atau radikal, algoritma akan secara aktif menyuguhi konten serupa, sehingga meningkatkan risiko terpapar paham radikal.
Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Margaret Aliyatul Maimunah, menjelaskan bahwa anak-anak adalah kelompok rentan yang mudah terpengaruh oleh apa yang mereka lihat dan konsumsi di ruang digital. Tanpa literasi yang memadai, anak-anak bisa menjadi target mudah grooming digital maupun eksploitasi daring.
Bullying Jadi Biang Masalah
Tidak ada asap tanpa api. Pelaku peledakan SMA 72 diduga menjadi korban bullying dari teman-temannya. Komisioner KPAI Aris Adi Leksono mengungkap bahwa ada perubahan perilaku signifikan pada pelaku selama beberapa bulan terakhir, termasuk lebih tertutup dan sering mengakses konten bernada radikal.
Motif pelaku diduga merupakan kombinasi antara emosi pribadi yang tidak terkendali dan internalisasi narasi ekstrem dari ruang digital. Namun, sekolah seharusnya menjadi ruang aman bagi siswa dari segala bentuk kekerasan, baik verbal maupun fisik.
Proteksi Digital Tanggung Jawab Kolektif
Peristiwa di SMA 72 menjadi alarm serius terhadap model pendidikan dan sistem pembinaan karakter di sekolah. Evaluasi menyeluruh diperlukan, termasuk melibatkan Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah, Kementerian Agama, serta Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA).
Margaret menegaskan pentingnya peran orang tua dan lingkungan dalam melindungi anak dari paparan konten negatif. Orang tua harus mampu memberikan pemahaman yang tepat ketika anak mengakses konten bermuatan negatif.
Pengawasan terhadap konten digital dan mewujudkan lingkungan sekolah yang aman menjadi tanggung jawab kolektif semua pihak. Mitigasi terhadap kasus kekerasan yang dilakukan anak-anak tidak cukup hanya dengan membatasi akses terhadap konten yang mereka konsumsi, tetapi juga perlu adanya pemberian pemahaman yang tepat dari orang-orang di sekitar mereka.
0 Response to "Waktu Dark Web Jadi Pelarian Korban Bullying Sekolah"
Posting Komentar