Pemeriksaan Kesehatan Kemenkes 2025: Kisah Dewi, Perawat Unair yang Selamatkan Nyawa di Ujung Maluku

Perawat di Wilayah Terpencil: Perjuangan dan Harapan untuk Kesehatan Masyarakat

Di Puskesmas Wamsisi, Kecamatan Waesama, Kabupaten Buru Selatan, Provinsi Maluku, suara mesin perahu bercampur dengan deburan ombak menjadi irama sehari-hari Dewi Rahmawati. Usianya baru menginjak awal tiga puluhan. Tetapi langkah pengabdiannya telah menempuh jarak yang jauh menyusuri hutan, menembus angin laut, dan merayap di lorong-lorong kampung yang terpisah sungai dan tebing.

Dewi bukan perawat biasa. Ia telah menyandang gelar Magister Keperawatan dari Universitas Airlangga Surabaya Jawa Timur. Gelar itu diraih lewat dukungan beasiswa resmi Kementerian Kesehatan. Sebuah kesempatan langka yang diberikan hanya kepada tenaga medis dengan rekam jejak pengabdian luar biasa.

Ketika mendaftar beasiswa, Dewi masih bertugas di salah satu Puskesmas di Maluku. Ia harus bersaing dengan ratusan pemohon, mengikuti seleksi administrasi, tes akademik, dan wawancara yang dilakukan secara langsung oleh tim Kemenkes. Namun saat ditanya apa motivasinya, ia menjawab dengan mata yang nyaris berkaca-kaca.

“Saya mau pulang ke Buru Selatan. Saya mau bantu daerah saya sendiri,” begitu katanya. Ucapan itu sederhana, namun justru menggambarkan kerinduan mendalam untuk kembali berbakti pada tempat kelahirannya.

Beasiswa itu mengubah hidupnya. Membawanya belajar ke Surabaya. Mempertemukannya dengan ilmu baru, membuka jaringan dengan para dosen dan peneliti, dan memberinya perspektif luas tentang kesehatan masyarakat. Namun di balik semua itu, Dewi menyadari bahwa ilmu yang ia genggam hanya punya makna ketika dibawa pulang ke tanah asalnya.

Setelah lulus pada 2023, Dewi kembali ke Maluku dengan semangat penuh. Namun ia juga memahami bahwa Wamsisi bukan tempat yang mudah ditaklukkan. Untuk mencapai Puskesmas, ia harus menempuh perjalanan laut selama dua hingga tiga hari. Kapal kayu kecil menjadi satu-satunya moda transportasi.

Laut Maluku yang indah bisa berubah menjadi sangat ganas. Ombak setinggi dada, angin kencang, dan langit gelap pekat sudah menjadi bagian dari perjalanan rutinnya. Pernah suatu ketika speedboat yang ia tumpangi kehabisan bahan bakar di tengah laut. Tidak ada sinyal, tidak ada kapal lain yang lewat.

“Waktu itu saya pikir, mungkin itu akhir saya. Tapi saya ingat, saya belum selesai di sini,” ujar Dewi sambil tersenyum tipis mengingat momen itu. Begitu tiba di daratan Waesama, perjuangannya tidak berhenti. Jalan rusak, licin, dan penuh batu membuat perjalanan darat menjadi mimpi buruk.

Nyaris tidak ada transportasi umum, sehingga untuk menjangkau desa terpencil, Dewi sering harus meminjam motor warga, naik rakit bambu menyusuri sungai, atau menumpang perahu kecil melewati arus deras. “Di sini, perjalanan adalah bagian dari pekerjaan. Kita tidak bisa mengeluh,” kata Dewi.

Membangun Kepercayaan melalui Budaya

Di daerah ini, budaya bukan sekadar hiasan, tetapi identitas yang mengatur segala hal termasuk kesehatan. Pemimpin adat atau Soa memiliki pengaruh besar dalam keputusan masyarakat, mulai dari urusan pertanian, pernikahan, hingga pengobatan. Dewi menyadari bahwa tanpa persetujuan Soa, tenaga kesehatan tidak akan dianggap. Karena itu, ia memilih pendekatan yang paling sulit namun paling efektif: membangun kepercayaan.

“Tidak bisa langsung masuk. Harus menunggu dulu. Menyaksikan dulu. Menegur dulu,” kenangnya. Ia hadir di acara adat, ikut membantu ibu-ibu menyiapkan makanan untuk ritual, mengobrol sambil memetik daun pisang, dan sesekali membantu menyiapkan perahu untuk perjalanan warga. Butuh waktu tiga tahun hingga para Soa benar-benar menganggapnya sebagai bagian dari komunitas.

Perlahan, Dewi mulai diperbolehkan mengedukasi warga tentang imunisasi, vitamin A, dan pengobatan luka. Ketika Soa memberi izin, satu kampung akan ikut. Itu membuat program kesehatan berjalan lebih mudah.

Tantangan Kusta dan Stigma Budaya

Salah satu tantangan terbesar Dewi adalah tingginya kasus kusta. Stigma mengenai penyakit ini masih sangat kuat. Banyak warga percaya bahwa kusta adalah kutukan akibat kesalahan leluhur. Penyembuhan dipercaya hanya bisa dilakukan dengan ritual Babeto, yakni duduk di bawah pohon besar selama berhari-hari hingga “roh penyakit” pergi.

“Mereka tidak makan, tidak minum, hanya duduk. Saya lihat sendiri,” ungkapnya. Dewi tidak menghakimi. Sebaliknya, ia memadukan pendekatan medis dengan menghormati nilai budaya. Ia membiarkan warga melakukan ritual, lalu perlahan memperkenalkan obat-obatan. Ia menunjukkan cara merawat luka, cara minum obat rutin, dan menjelaskan dengan bahasa sederhana apa itu bakteri penyebab kusta.

Hasilnya, perlahan, stigma mulai mencair. Beberapa warga mulai datang ke Puskesmas untuk berobat. Bahkan beberapa mantan pasien kusta kini menjadi relawan lokal yang membantu Dewi menyampaikan edukasi.

Penghasilan Terbatas dan Kehidupan yang Berat

Walau sudah belasan tahun mengabdi, kehidupan Dewi jauh dari kata mapan. Harga kebutuhan pokok di Waesama sangat mahal. Tidak ada tunjangan khusus untuk tenaga kesehatan yang bertugas di daerah terpencil dalam lingkup Buru Selatan. Untuk menambal kebutuhan, Dewi berjualan makanan ringan, aneka kerupuk, dan kadang menjadi distributor obat ke desa-desa yang tidak memiliki apotek.

“Kalau tidak begitu, saya tidak bisa bertahan. Tapi ya sudah, saya jalani,” ujarnya. Ketika malam tiba dan Puskesmas sunyi, Dewi kerap duduk di teras sambil memandang langit Waesama yang gelap tanpa lampu jalan. Di situ, ia merenungkan betapa banyak nyawa yang bergantung pada tangan-tangannya. Namun ia juga berharap negara hadir lebih nyata.

Cek Kesehatan Gratis 2025: Harapan Baru di Tengah Keterpencilan

Saat ini Kementerian Kesehatan meluncurkan Program Cek Kesehatan Gratis (CKG) 2025 pada 10 Februari 2025. Dewi merasa seperti mendapatkan angin segar. Program yang didanai dengan Rp 3,4 triliun dari APBN ini menjadi peluang besar untuk memperbaiki kualitas hidup warga daerah 3T. Tiga skema besar yang dijalankan adalah pertama, cek kesehatan gratis saat ulang tahun. Yakni pemeriksaan pada hari ulang tahun warga, untuk usia 0–6 tahun dan 18 tahun ke atas.

Kemudian ada skema cek kesehatan gratis via sekolah. Program ini dimulai sejak Agustus 2025, menyasar 53 juta siswa di 280 ribu sekolah. Ketiga, ada cek kesehatan gratis khusus ibu hamil, balita, dan masyarakat terpencil melalui Puskesmas, Posyandu, dan layanan keliling.

Hingga pertengahan tahun, lebih dari 8 juta warga telah merasakan manfaatnya. Bahkan, aturan turunan terbaru sejak 1 Maret 2025 membuat program semakin inklusif: warga tidak harus menunggu ulang tahun. Mereka bisa datang kapan saja ke fasilitas kesehatan terdekat ataupun mendaftar lewat SATUSEHAT Mobile dan WhatsApp.

0 Response to "Pemeriksaan Kesehatan Kemenkes 2025: Kisah Dewi, Perawat Unair yang Selamatkan Nyawa di Ujung Maluku"

Posting Komentar